Data Hasil Pemetaan Sosial Untuk Penanggulangan Pekerja Anak di Pertanian di Beberapa Desa di Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat
28 April 2020
#BERJARAK Cegah Covid-19 Sampai Desa
18 May 2020
Data Hasil Pemetaan Sosial Untuk Penanggulangan Pekerja Anak di Pertanian di Beberapa Desa di Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat
28 April 2020
#BERJARAK Cegah Covid-19 Sampai Desa
18 May 2020

Data dari Studi Diagnostik Pekerja Anak di Wilayah Pedesaan (Dengan Penekanan Khusus Pada Perkebunan Tembakau Rakyat) – SMERU

Studi ini dilaksanakan oleh SMERU di Jember (Jawa Timur) dan di Lombok Timur. Temuan studi menunjukkan angka prevalensi pekerja anak di desa-desa studi di kedua kabupaten mencapai 28,33% di Lombok Timur dan 14,31% di Jember (pekerja anak berdasarkan definisi ILO). Angka ini lebih tinggi dari prevalensi pekerja anak di tingkat nasional yang dilaporkan dalam Survei Pekerja Anak Indonesia pada 2009, yaitu 6,9% (Badan Pusat Statistik dan Organisasi Perburuhan Internasional, 2009), dan juga lebih tinggi dari prevalensi pekerja anak di beberapa negara Asia dan Pasifik pada 2012 menurut ILO yakni sebesar 9,3%.

Tabel 1. Prevalensi Anak yang Bekerja dan Pekerja Anak

Gambar 1 di bawah ini memperlihatkan perbedaan pola prevalensi pekerja anak menurut gender di Lombok Timur dan Jember. Di Lombok Timur, prevalensi pekerja anak lebih tinggi pada perempuan daripada laki-laki, sementara di Jember prevalensi pekerja anak laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Namun, menurut berbagai laporan, anak perempuan lebih banyak terlibat dalam tugas-tugas rumah tangga yang tidak dianggap sebagai bekerja (dalam definisi ekonomi).

Gambar 1 juga memperlihatkan bahwa prevalensi putus sekolah pada anak laki-laki lebih tinggi daripada anak perempuan. Hal ini mungkin disebabkan karena dalam mengatasi kendala ekonomi, orang tua cenderung lebih mengandalkan anak laki-laki daripada anak perempuan.

Gambar 1. Prevalensi pekerja anak menurut gender dan pendidikan

Sumber: Dihitung berdasarkan hasil survei rumah tangga, Tim Peneliti SMERU, 2017.

Hasil studi ini juga menunjukkan prevalensi putus sekolah yang lebih tinggi pada anak di kelompok usia yang lebih tua. Dibandingkan dengan pekerja anak berusia 13–14 tahun, mereka yang berusia 15–17 tahun memiliki prevalensi putus sekolah empat hingga lima kali lebih tinggi. Permasalahan di Kabupaten Jember, khususnya, lebih serius karena 1 dari 2 pekerja anak berusia 16–17 tahun mengalami putus sekolah. Sementara itu, untuk kelompok usia yang sama di Lombok Timur, hanya satu dari lima pekerja anak yang putus sekolah. Sebagian besar kejadian putus sekolah ini disebabkan sulitnya akses ke sarana pendidikan dan pernikahan dini.

Gambar 2. Prevalensi pekerja anak menurut kelompok usia dan pendidikan

Sumber: Dihitung berdasarkan hasil survei rumah tangga, Tim Peneliti SMERU, 2017.

Karakteristik pekerja anak di perkebunan tembakau dalam hal umur dan gender berbeda dengan pekerja anak yang terlibat dalam komoditas pertanian lainnya. Berdasarkan wawancara dengan pemilik kebun tembakau dan orang tua, anak perempuan berusia sekolah antara SD dan SMP (7– 15 tahun) lebih banyak terlibat di perkebunan tembakau, sementara anak laki-laki pada kelompok usia SMP dan SMA lebih lazim terlibat dalam usaha komoditas lain. Tingginya prevalensi anak perempuan di perkebunan tembakau disebabkan oleh preferensi majikan (yaitu pemilik kebun tembakau atau pemilik tanah) karena kerenikan daun tembakau dan sifat pekerjaan yang repetitif lebih tepat bagi perempuan yang dianggap lebih sabar dan rapi dalam melakukan pekerjaan.

Prevalensi putus sekolah di antara pekerja anak di perkebunan tembakau relatif kecil, seperti terlihat pada Gambar 3. Angka ini jauh lebih rendah daripada prevalensi putus sekolah di antara pekerja anak secara umum, seperti ditampilkan pada Gambar 2 di bagian sebelumnya.

Gambar 3. Prevalensi pekerja anak di perkebunan tembakau menurut gender, usia, dan pendidikan

Sumber: Dihitung berdasarkan hasil survei rumah tangga, Tim Peneliti SMERU, 2017.

Dalam hal distribusi usia, serupa dengan situasi pekerja anak pada umumnya, makin tua usia anak, makin tinggi prevalensi pekerja anak di perkebunan tembakau. Selain itu, anak-anak yang lebih tua cenderung lebih banyak yang putus sekolah. Meskipun demikian, prevalensi pekerja anak pada kelompok usia lebih muda di Lombok Timur sangat tinggi jika dibandingkan dengan standar nasional. Hal ini disebabkan oleh paparan terhadap kerja di perkebunan tembakau pada usia dini karena banyak ibu membawa anak-anak mereka ke tempat kerja.

Sumber: Studi Diagnostik Pekerja Anak di Wilayah Perdesaan (Dengan Penekanan Khusus pada Perkebunan Tembakau Rakyat) oleh SMERU, 2019
Download PDF: Versi Bahasa Indonesia | English Version

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *