Laporan tengah tahun 2022 PAACLA Indonesia
Laporan Tengah Tahun 2022
15 September 2022
Merancang Mimpi Indonesia Bebas Pekerja Anak
4 October 2022
Laporan tengah tahun 2022 PAACLA Indonesia
Laporan Tengah Tahun 2022
15 September 2022
Merancang Mimpi Indonesia Bebas Pekerja Anak
4 October 2022

Learning Session PAACLA: Membangun Komunikasi untuk Jalin Kolaborasi Program

Membangun Komunikasi untuk Jalin Kolaborasi Program

“Kita tidak bisa membangun kemitraan jika tidak dimulai dengan komunikasi dan interaksi yang baik.” Ditto Santoso – Praktisi CSR

Bagaimana pelaku bisnis merespon isu pekerja anak menjadi pertanyaan yang terbersit saat flyer webinar yang diselenggarakan PAACLA Indonesia beredar di media sosial.

Kali ini PAACLA Indonesia menggelar diskusi virtual dengan seorang praktisi Corporate Social Responsibility (CSR) yang juga berpengalaman dalam pemberdayaan masyarakat. Ditto Santoso membahas materi Webinar “Membangun Kemitraan dan Perencanaan Program yang Efektif untuk Penanggulangan Pekerja Anak.” pada Kamis pagi, 8 September 2022.

Melihat proyeksi risiko global yang makin memburuk selama pandemi seperti lunturnya kohesi sosial, krisis mata pencaharian dan masalah lingkungan yang akhirnya berdampak pada anak, membuka peluang munculnya kasus pekerja anak. Hal ini juga ditunjukkan dengan data BPS yang dikutip Katadata, dimana jumlah pekerja anak pada tahun 2021 meningkat 2,63%.

Pekerja anak menjadi permasalahan yang direspon oleh banyak pihak termasuk sektor bisnis. Isu ini bukan saja menjadi risiko dalam operasional bisnis tetapi sudah diletakkan sebagai perhatian dan intervensi perusahaan (isu strategis).

Penghargaan akan hak asasi manusia juga memandatkan adanya penghormatan akan hak anak. Hal ini menjadi mandatory dan tercantum dalam instrumen yang berlaku secara internasional dan nasional.  Tiga pilar dalam Prinsip Panduan PBB mengenai Bisnis dan HAM (UNGP) telah mendorong perusahaan menghormati HAM. Pada prinsip kelima UN Global Compact, tercermin nilai untuk mewujudkan tanggung jawab sosial dan lingkungan yang di dalamnya juga menyangkut tentang perlindungan anak. Tidak hanya itu, ISO 26000 dalam satu subyek intinya juga telah menekankan tidak diperbolehkan merekrut anak.

Perusahaan memandang permasalahan pekerja anak ini sebagai isu sosial (HAM) yang harus dikomunikasikan dengan para pemangku kepentingannya. Hal itu harus dilakukan karena perusahaan memiliki siklus kerja dengan rantai pasok dan para pekerjanya. Dengan demikian untuk menjadikan pekerja anak sebagai isu strategis perlu mengaitkan dengan konteks industri, profil perusahaan dan pemangku kepentingan yang terlibat.

Perusahaan yang berkomitmen untuk mengedepankan perlindungan anak termasuk didalamnya isu pekerja anak akan mematuhi dan melakukan serangkaian mekanisme pendukung seperti menyusun kebijakan, SOP dan menyiapkan SDM pendukung serta melakukan pengkajian di sepanjang rantai pasoknya.

Guna memenuhi uji tuntas HAM, perusahaan juga melakukan identifikasi asesmen untuk memastikan potensi dampak dari operasional bisnis, yang selanjutnya dapat melakukan inisiasi program intervensi untuk mencegah dampak sosial dan lingkungan. Pada bagian merancang program inilah perusahaan bisa melakukan kolaborasi dengan berbagai pihak untuk mengembangkan program pemberdayaan, advokasi dan bentuk inisiatif lainnya seperti CSR. Dengan demikian, apa yang dilakukan perusahaan ini dapat dikatakan menjadi bagian untuk menyelaraskan dengan regulasi dan standar industry.

Untuk menjawab bagaimana kolaborasi bisa terbangun tentu diperlukan langkah-langkah awal seperti melakukan negosiasi, advokasi dan diskusi. Penting untuk mengedepankan komunikasi dalam proses ini karena tidak mungkin terjadi kolaborasi tanpa terbangun interaksi.

Paparan narasumber mendapat respons beragam dari peserta. Salah seorang peserta juga menanyakan peran media dalam implementasi kebijakan penghapusan pekerja anak. Ditto Santoso yang saat ini juga bekerja disebuah perusahaan media untuk mempublikasikan kerja-kerja CSR,  menanggapi bahwa media merupakan bagian penting dalam civil society. Keberadaan media yang diharapkan bisa mengedukasi dan melakukan diseminasi informasi perlu dilatarbelakangi semangat jurnalisme damai. Permasalahan pekerja ana kinin perlu diangkat dan dikomunikasikan secara sejajar dan membicarakan hal itu bersama pihak lain.

Di penghujung sesi, seorang peserta, Solekan dari LPKP Jatim mensharingkan proses kemitraan saat ini dilakukan di daerah dampingan dan menanyakan siapa yang sebaiknya memulai peran untuk menggerakkan isu pekerja anak di daerah.

Belajar dari dua pengalaman praktisnya, narasumber memberikan ilustrasi bahwa kemitraan yang telah dibangun akan makin kuat posisinya jika didukung dengan regulasi sebagai landasan kerja bersama. Visi dan strategi, didukung dengan roadmap, adanya secretariat bersama perlu dipertimbangkan untuk mengelola isu yang diusung bersama. Landasan regulasi dan anggaran serta keterlibatan tim yang secara fokus mengawal isu ini sangat penting agar kemitraan bisa berjalan.  

Mengakhiri sesi, ada empat kunci penting dalam menjalin kemitraan yang efektif perlu dibangun, Engage, Collaborate, Create Impact dan Communicate, penting untuk dilakukan pesan narasumber menutup diskusi.

Tim Media PAACLA

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *